PENDIDIKAN
ISLAM DALAM BINGKAI NUSANTARA
Disampaikan oleh : EDY
Pada kuliah umum di STIT SIFA Bogor tanggal 26
September 2015
A.
Pendahuluan
Akhir-akhir ini banyak perdebatan
muncul tentang “islam nusantara” yang jadi tema besar Muktamar ke-33 Nahdlatul
Ulama di Jombang, Jawa Timur, pada 1 – 5 Agustus yang lalu. Sebagian pakar
setuju dengan konsep tersebut, namun tidak sedikit yang meragukan dengan
gagasan tersebut karena dianggap bagian dari rangkaian proses sekularisasi,
liberisasi pemikiran Islam yang telah digelorakan sejak tahun 80-an oleh
Nurcholis Madjid dan Abdurrahman Wahid.
Sebagian lagi menilai bahwa gagasan
Islam Nusantara juga berpotensi besar untuk memecah-belah kesatuan kaum Muslim,
sehingga akan muncul istilah Islam Nusantara, Islam Amerika, Islam Australia,
dan sebagainya. Gagasan Islam nusantara disinyalir akan memicu sikap saling
menonjolkan kedaerahannya didalam eksistensinya ber-Islam. Seperti cara membaca
Qur’an dengan langgam Jawa yang akan memunculkan berbagai egoisme Islam yang
bersifat kedaerahan seperti gaya baca Sunda, Batak, Makassar, Aceh, Palembang.
Bagi pengusung ide “islam nusantara”,
– sebagaimana dikatakan oleh Moqsith Ghazali- Ide Islam Nusantara datang bukan
untuk mengubah doktrin Islam. Ia hanya ingin mencari cara bagaimana melabuhkan
Islam dalam konteks budaya masyarakat yang beragam. Islam nusantara bukan
sebuah upaya sinkretisme yang memadukan Islam dengan “agama Jawa”, melainkan
kesadaran budaya dalam berdakwah sebagaimana yang telah dilakukan oleh
pendahulu kita walisongo. Islam nusantara tidak anti arab, karena bagaimanapun
juga dasar-dasar islam dan semua referensi pokok dalam ber-islam berbahasa
Arab.
Terlepas dari pro dan kontra yang berkaitan dengan “tema”
Islam nusantara, Bagaimanakah posisi
pendidikan Islam dalam bingkai nusantara ini?
B.Pembahasan
Indonesia adalah bangsa yang
besar sebelum nama “Indonesia” ini terbentuk kebesaran
Indonesia itu bisa terbentuk karena keragaman budaya yang ada di dalamnya,
karena dari segi sejarah ada beberapa peradaban yang yang berbasiskan keagamaan
yang menguasai nusantara ini mulai dari masa pra sejarah, pra colonial dengan
berpengaruh besarnya kerajaan hindu budha kutai, tarumanegara, kalingga,
sriwijaya, sailendra, medang, kahuripan, sunda, Kediri, dharmasraya, singasari,
majapahit, dan malayapura, setelah kerajann hindu budha padam dan meninggalkan
peninggalan yang berharaga, k masuklah islam di Indonesia dan berdiri kerajaan –kerjaan besar pada masanya seperti kesultanan samudra
pasai, ternate, pagaruyung, malaka, indrapura, demak dan Aceh, dan pada tahun
1600-1904 muncul juga kerajaan- kerajaan Kristen di Indonesia yakni kerajaan
larantuka yang berada di pulau Naga sekarang disebut sebagai pulau plores.[1]
Berbagai
kekuatan dunia pernah menguasai Nusantara dalam perjalanan panjangnya Islamlah yang paling
memiliki peran dan mampu bertahan sampai saat ini sehingga berkat perjuangan
umat Islamlah Indonesia ini terwujud.[2]
Keberadaan madrasah pada saat ini tidak bisa dipisahkan dari
keberadaan pesantren dan perkembangannya di tanah air, keberadaan pesantren sangat strategis sejak
awal perkembangan islam di Indonesia, merebut, dan mengisi kemerdekaan bahkan
sampai saat ini tidak bisa diabaikan pesantren seolah mengawal keberadaan
madrasah.
Berbicara
tentang pendidikan Islam tentu tidak dapat dipisahkan dengan madrasah. Dalam perjalannya Sejak awal diterapkannya
sistem madrasah di Indonesia pada sekitar awal abad ke-20, madrasah telah
menampilkan identitasnya sebagai lembaga pendidikan Islam. Identitas itu tetap
dipertahankan meskipun harus menghadapi berbagai tantangan dan kendala yang
tidak kecil, dalam sejarah pendidikan di Indonesia paling tidak ada beberapa
perubahan kurikulum dalam sistem pendidikan nasional yakni: pertama kurikulum 1947 yang disebut
dengan rencana pelajaran, kedua, kurikulum 1952 yang disebut dengan rencana pelajaran terurai
1952, ketiga kurikulum 1964 yang disebut dengan rencana pendidikan 1964
yang menekankan kepada pancawardana yang meliputi daya cipta, rasa, karsa, karya dan moral, keempat kurikulum 1968 yang diistilahkan dengan
pancawardana menjadi pembinaan jiwa
pancasila, kelima, kurikulum 1975 adanya CBSA, keenam, kurikulum 1984 pemantapan
CBSA, Ketujuh, kurikulum 1994
adanya pembagian waktu dari semester ke caturwulan, kedelapan, kurikulum 2004 Kurikulum
berbasis Kompetensi (KBK) dan Kesembilan kurikulum 2006 kurikulum tingkat satuan Pendidikan (KTSP). Kesepuluh,
kurikulum 2013 walaupun pernah diterapkan disekolah dan dikembalikan kembali ke
kurikulum 2006 namun beberapa madrasah tetap menjalankan kurikulum 2013
tersebut.
Pada masa
Orde baru di bawah pimpinan Soeharto yang telah berkuasa hamper tiga puluh dua
tahun pada awal kepemimpinan terlihat kontraproduktif dengan umat Islam idenya
tentang asas tunggal misalnya bertahan cukup lama dan pada gilirannya
sangat memperngaruhi kehidupan berbangsa
dan bernegara umat Islam harus berjuang keras agar diakuinya madrasah sebagai
salah satu sistem pendidikan nasinal.
Sebelum
dikeluarkannya SK tiga menteri dalam
dekade 1970-an madrasah terus
dikembangkan, untuk memperkuat
keberadaannya, namun yang terjadi pada awal tahun 1970an justru pemerintah
terkesan mengisolasi madrasah sehingga
tidak menjadi bagian dari sisitem pendidikan nasional sebagaimana Keputusan
presiden (kepres) no 34 tanggal 18 April tahun 1972 tentang “Tanggung Jawab Fungsional Pendidikan
dan Latihan”dimana keputusan ini pada intinya mencakup tiga hal: pertama,
Menteri pendidikan dan kebudayaan bertugas dan bertanggung jawab atas pembinaan pendidikan umum dan kejuruan, kedua,
menteri tenaga kerja bertugas dan bertanggung jawab atas pembinaan dan latihan keahlian dan kejuruan tenaga
kerja dan pegawai negeri. Ketiga, Ketua lembaga administrasi negara
bertugas dan bertanggung jawab atas pembinaan pendidikan dan latihan khusus untuk
pegawai negeri.[3]
Selanjutnya
kepres nomor 34 Tahun 1972 dipertegas oleh Inpres Nomor 15 tahun 1974 yang
mengatur operasionalnya. Dalam TAP MPRS Nomor XVII tahun 1966 menjelaskan
“agama merupakan salah satu unsur mutlak dalam pencapaian tujuan nasional.
Persoalan keagamaan diatur dikelola oleh Departeman Agama sedangkan Madrasah
dalam TAP MPRS nomor 2 tahun 1960 adalah lembaga pendidikan otonom dibawah
menteri agama. Dari sini dapat disimpulkan bahwa madrasah tidak saja bersifat
keagamaan dan umum namun juga bersifat
kejuruan. Sementara kepres nomor 34
tahun 1972 dan Inpres No.15 tahun
1974 menegaskan bahwa penyelenggaraan
pendidikan umum dan kejuruan sepenuhnya
sepenuhnya berada dibawah tanggung jawab mendikbud, secara implisit ketentuan ini mengharuskan
diserahkannya penyelenggaraan pendidikan madrasah yang sudah menggunakan
kurikulum nasional kepada mendikbud. kebijakan
pemerintah ini dinilai tidak menguntungkan umat Islam yang akhirnya
menimbulkan respon yang cukup keras yang berdatangan dari para ulama
dan madrasah swasta.
Ketegangan
ini wajar saja muncul dan dirasakan oleh umat Islam. Betapa tidak, pertama,
sejak diberlakunya UU No. 4 tahun 1950 jo UU No. 12 tahun 1954, masalah
madrasah dan pesantren tidak dimasukkan dan bahkan tidak disinggung sama
sekali, yang ada hanya masalah pendidikan agama di sekolah (umum). Dampaknya
madrasah dan pesantren dianggap berada di luar sistem. Kedua, umat Islam
pun “curiga” bahwa mulai muncul sikap diskriminatif pemerintah terhadap
madrasah dan pesantren. Dan kecurigaan itu pun diperkuat dengan dikeluarkannya
Keppres 34/1972 yang kemudian diperkuat dengan Inpres 15/1974 yang isinya
dianggap melemahkan dan mengasingkan madrasah dari pendidikan nasional.
Munculnya
reaksi dari umat Islam ini disadari oleh pemerintah Orde Baru. Berkaitan dengan
Keppres 34/1972 dan Inpres 15/1974, kemudian pemerintah mengambil kebijakan
yang lebih operasional dalam kaitan dengan madrasah, Melalui desakan yang terus
menerus terutama respon yang ditujukan
oleh Majlis pertimbangan pendidikan dan Pengajaran agama (MP3A) yang
menegaskan bahwa madrasah telah memberikan kontribusi yang cukup besar dalam
proses pembangunan.
Karena
desakan yang kuat kemudian pemerintah secara aktip menyikapi tuntutan umat
Islam tersebut kemudian pemerintah
mengadakan sidang kabinet terbatas pada
tanggal 26 November 1974 yang salah satu
hasilnya adalah kesepakatan yang dikeluarkan oleh tiga menteri (Kementerian
Agama, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, dan kementerian dalam negeri mengenai peningkatan mutu madrasah.[4]
Sejalan
dengan upaya meningkatkan mutu pendidikan madrasah inilah, pada tanggal 24
Maret 1975 dikeluarkan kebijakan berupa Surat Keputusan Bersama (SKB) 3 Menteri
yang ditandatangani oleh Menteri Agama (Prof. Dr. Mukti Ali), Menteri Pendidikan
dan Kebudayaan (Letjen. TNI Dr. Teuku Syarif Thayeb) dan Menteri Dalam Negeri
(Jend. TNI Purn. Amir Machmud).
Diantara
ketentuan yang dikeluarkan oleh SKB tiga menteri tersebut adalah menegaskan
bahwa madrasah adalah lembaga pendidikan
yang menjadikan mata pelajaran agama
Islam sebagai mata pelajaran dasar yang
diberikan sekurang-kurangnya tiga puluh persen disamping mata pelajaran umum.
Beberapa permasalahan
yang muncul setelah diberlakukannya SKB tiga menteri antara lain:
1. Berkurangnya
muatan materi pendidikan agama. Hal ini dilihat sebagai upayapendangkalan
pemahaman agama, karena muatan kurikulum agama sebelum SKB dirasa belum mampu
mencetak muslim sejati, apalagi kemudian dikurangi.
2. Tamatan Madrasah
serba tanggung. Pengetahuan agamanya tidak mendalam sedangkan pengetahuan
umumnya juga rendah.
3. Diakui bahwa
model pendidikan madrasah di dalam perundang-undangan negara, memunculkan
dualisme sistem Pendidikan di Indonesia. Dualisme pendidikan di Indonesia telah
menjadi dilema yang belum dapat diselesaikan hingga sekarang. Dualisme ini
tidak hanya berkenaan dengan sistem
pengajarannya tetapi juga menjurus pada keilmuannya. Pola pikir yang
sempit cenderung membuka gap antara ilmu-ilmu agama Islam dan ilmu-ilmu umum.
Seakan-akan muncul ilmu Islam dan ilmu bukan Islam (kafir).[5]
Sebagai
warisan (legacy) Islam yang sangat penting, pendidikan Islam Indonesia
mengalami pertumbuhan signifikan dalam pembangunan manusia Indonesia seutuhnya.
Dewasa ini pendidikan Islam (al-tarbiyah al-islamiyah) ¬–khususnya dalam
kewenangan Kementerian agama-- telah berkembang dalam jenis dan ragam yang
dapat dikategori dalam dua kelompok besar. Pertama, pendidikan Islam sebagai
lembaga atau program. Dalam praktiknya, pendidikan Islam kategori ini mencakup
setidaknya 6 (enam) jenis lembaga/program, yaitu:
1. Pondok
Pesantren dan Diniyah (Ula, Wustha, ’Ulya) dan Ma’had ’Aly (Pesantren Luhur)
dengan segala variasi dan kualitasnya. Lembaga/program ini telah memperoleh
kedudukan yang semakin kokoh melalui UU Sistem Pendidikan Nasional No. 20 tahun
2003 dan PP 55/2007 tentang Pendidikan Agama dan Pendidikan Keagamaan;
2. Madrasah
(MI, MTs, MA) yang disebut sebagai ‘pendidikan umum berciri khas Islam’ yang
dalam praktiknya ‘sama tapi tak sebangun’ dengan sekolah;
3. Perguruan
tinggi Islam dengan keragamannya seperti Sekolah Tinggi, Institut (negeri dan
swasta) dan Universitas (UIN) yang memperoleh kedudukan khusus dalam UU no 12
tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi;
4. Pendidikan
usia dini/TK/RA/BA yang diselenggarakan oleh dan/atau berada di bawah naungan
yayasan dan organisasi Islam;
5. Pelajaran
agama Islam (PAI) di Sekolah/Madrasah/Perguruan Tinggi sebagai suatu mata
pelajaran, mata kuliah, dan/atau sebagai program studi;
6. Pendidikan
Islam dalam keluarga atau di tempat-tempat ibadah, forum-forum kajian
keislaman, majelis ta’lim, dan institusi-institusi lainnya yang digalakkan
masyarakat, atau pendidikan (Islam) melalui jalur pendidikan non formal dan
informal.
Saat ini semenjak diberlakukannya Undang-undang sisdiknas no
20 tahun 2003 secara teori sudah tidak ada lagi perbedaan antara madrasah dan
sekolah, namun dualisme pendidikan antara kemenag dan depdiknas menjadi
permasalahan yang sampai sekarang tidak dapat terselesaikan hal ini dapat
dimaklumi karena sekolah dan madrasah di
Indonesia memiliki latar belakang yang panjang dan dua lisme ini bisa
saja disebut menjadi ciri khas dari pendidikan di Indonesia.
Berdasarkan data statistik madrasah pada tahun 2007/2008 Pendataan
RA/BA/TA dan Madrasah (MI, MTs dan MA) Tahun Pelajaran 2007/2008 encakup 33 propinsi. Jumlah lembaga yang berhasil didata sebanyak 18.759
RA/BA/TA, 21.188 Madrasah Ibtidaiyah
(MI), 12.883 Madrasah Tsanawiyah (MTs) dan 5.398 Madrasah Aliyah (MA). satus lembaga pada Madrasah Ibtidaiyah
sebanyak 92,6% atau 19.621 lembaga berstatus
swasta dan sebanyak 7,4% atau
1.567 lembaga berstatus Negeri. Madrasah Tsanawiyah Negeri sebanyak 9,8% atau
1.259 lembaga, kemudian Madrasah Tsanawiyah Swasta sebanyak 90,2% atau 1.624 lembaga. Madrasah Aliyah berstatus Negeri sebanyak 11,9% atau 644 lembaga, sementara
Madrasah Aliyah berstatus swasta sebanyak 88,1% atau 4.754 lembaga. Lihat grafik
berikut. [6]
Dari data di atas kita bisa mengambil
kesimpulan bahwa sebagian madrasah
adalah swasta, artinya sebagian besar madrasah dikelola oleh masyarakat dengan berbagai
model dan lembaga yang melatarbelakanginya, orang tua yang menyekolahkan
anaknya di madrasah swasta berdasarkan data statistic madrasah berada di bawah Rp 1.000.000 per bulan, Tidak
Tetap - 42,18%, < 1.000.000 - 43,75%, 1.000.000 – 2.000.000 - 10,47%, >
2.000.000 - 3,60% [7] keadaan ini sungguh berbanding terbalik dengan
potensi kekayaan alam yang dimiliki negara kita.
Madrasah
sebagai lembaga pendidikan Islam terus berpacu dalam menciptakan sebuah lembaga
pendidikan yang menyesuaikan dengan jamannya dalam bingkai nusantara madrasah
hendaknya menjadi penggerak dalam mewacanakan dan melakukan kemajuan-kemajuan
dalam bidang kemajemukan dengan menunjukkan islam yang baik dan toleran
Madrasah dewasa ini dihadapkan pada Tantangan
global dan merupakan sebuah tuntutan yang tidak bisa ditawar pendidikan merupakan salah satu sarana untuk
mempersiapkan manusia Indonesia agar siap mengahadapi tantangan tersebut salah
satu cirinya adalah mampu dan siap hidup dalam lingkungan yang majemuk dan
multikultural yang merupakan akibat dari
kemajuan tekhnologi yang tidak bisa dihindari kemajuan tekhnologi membuat dunia
semakin kecil sehingga pada saat ini dunia menjadi sebuah kampung yang kecil
Merupakan kenyataan yang tidak bisa ditolak
bahwa negara Indonesia terdiri dari berbagai kelompok etnis, budaya, agama, dan
lain-lain sehingga negara-negara Indonesia secara sederhana dapat disebut
sebagai masyarakat “multikultural”. Indonesia adalah salah satu negara
multikultural terbesar di dunia. Kebenaran dari pernyataan ini dapat dilihat
dari sosiokultural maupun geografis yang begitu beragam dan luas. Sekarang ini,
jumlah pulau yang ada di wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI)
sekitar. 13000 pulau dengan 33 provinsi dan 300
etnis kondisi Indonesia yang
seperti ini menegaskan bahwa NKRI adalah negara yang multkultural. Jumlah pulau
di Indonesia sampai saat ini sebenarnya belum secara pasti diketahui jumlahnya
karena masih memiliki perbedaan pendapat tentangnya, Lembaga yang pernah menetapkan jumlah pulau
yang dimiliki oleh Indonesia, diantaranya adalah: Lembaga Ilmu Pengetahuan
Indonesia (LIPI) pada tahun 1972, mempublikasikan bahwa hanya 6.127 pulau yang
telah mempunyai nama. Publikasi ini tanpa menyebutkan jumlah pulau secara
keseluruhan; Pusat Survei dan Pemetaan ABRI (Pussurta) pada tahun
1987menyatakan, jumlah pulau di Indonesia adalah 17.504 dan dari jumlah itu
hanya 5.707 pulau yang telah memiliki nama; Badan Koordinasi Survei dan
Pemetaan Nasional (Bakosurtanal) pada tahun 1992 menerbitkan “Gezetteer
nama-nama Pulau dan Kepulauan Indonesia”. Bakorsurtanal mencatat hanya 6.489
pulau yang telah memiliki nama; kemudian Lembaga Penerbangan dan Antariksa
Nasional (Lapan) pada tahun 2002 berdasarkan citra satelit mengklaim jumlah
pulau di Indonesia adalah 18.306 buah; Kementrian Riset dan Teknologi, pada
tahun 2003, berdasarkan citra satelit menyebutkan Indonesia memiliki 18.110
pulau. Ketidaksamaan penetapan jumlah pulau tersebut ditindak lanjuti oleh
Departemen Dalam Negeri Republik Indonesia pada tahun 2004,merilis bahwa jumlah
pulau di Indonesia adalah 17.504 pulau, dan dari jumlah tersebut dipastikan
sebanyak 7.870 pulau sudah memiliki nama, sedangkan sisanya sebanyak 9.634
pulau belum diberi nama. Kemudian pada
bulan Agustus tahun 2009, jumlah pulau yang sudah ditetapkan oleh Depdagri
mendapat koreksi dari Kementrian Kelautan dan Perikanan (KKP). Ditegaskan bahwa
jumlah pulau yang dimiliki oleh Indonesia sebanyak 17.480 buah, dan dari jumlah
tersebut baru 4.891 pulau yang telah diberi nama dan telah didaftarkan ke badan
dunia Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB). Ternyata jumlah yang sudah dirilis oleh
KKP itupun masih belum valid, dan pada bulan Agustus tahun 2010, Kementrian
Kelautan dan Perikanan melakukan revisi tentang jumlah pulau yang dimiliki
Indonesia dari 17.480 pulau menjadi 13.000 pulau. Dengan adanya revisi tersebut
tentunya semakin membiaskan pendapat publik tentang berapa jumlah pulau yang
sebenarnya dimiliki Indonesia ?, mengapa datanya tidak pernah valid dan mengapa
datanya selalu berubah-ubah? Kondisi semacam ini seharusnya tidak boleh terjadi
pada tingkat Kementerian, karena memberikan informasi yang tidak akurat dan
tentunya akan membingungkan masyarakat umum. Dampak yang lebih luas diantaranya
akan mempengaruhi dunia pendidikan di Indonesia, karena siswa akan memiliki
sikap yang tidak konsisten manakala menyebutkan jumlah pulau yang dimiliki oleh
Indonesia. Polemik tentang perbedaan jumlah pulau yang dimiliki oleh Indonesia
dapat terjadi karena dari beberapa lembaga yang menyatakan pendapat menggunakan
acuan dan metode survei yang berbeda pula. Selain hal tersebut ada kemungkinan
terjadi duplikasi nama pulau dan atau ada satu pulau dengan dua nama yang
berbeda pula terlepas dari itu semua yang jelas
Indonesia adalah Negara kepulauan dan itu sudah menjadi kesepakatan.[8]
Indonesia yang multikultural bagi
madrasah hendaklah disikapi secara wajar dan pentingnya bagi madrasah
menumbuhkan pendidikan Islam yang multicultural, Pentingnya pendidikan
multikultural bagi madrasah dapat
dilihat dari pertama, adanya keanekaragaman suku bangsa yang ada di
Indonesia, kedua falsafah pancasila dan pembukaan UUD 1945 yang
mencerminkan adanya perbedaan budaya yang harus dihargai untuk keutuhan bangsa
dan negara Indonesia, ketiaga UU
RI No 20/2003 tentang pendidikan nasional yang menghargai perbedaan dan
keragaman peserta didik.[9]
Islam sebagai agama yang rahmatan lil
‘alamin memberikan pemahaman yang
utuh berkaitan dengan pendidikan keragaman dalam pendidikan multikultural
Perbedaan-perbedaan yang ada di sekitar kehidupan manusia telah tertulis dalam
al-Qur’anul Karim sebagaimana Allah SWT telah berfirman dalam Q.S
al-hujurat/49:13
$pkr'¯»t â¨$¨Z9$#
$¯RÎ)
/ä3»oYø)n=yz
`ÏiB
9x.s
4Ós\Ré&ur
öNä3»oYù=yèy_ur
$\/qãèä©
@ͬ!$t7s%ur
(#þqèùu$yètGÏ9
4 ¨bÎ)
ö/ä3tBtò2r&
yYÏã
«!$#
öNä39s)ø?r&
4 ¨bÎ)
©!$#
îLìÎ=tã
×Î7yz
ÇÊÌÈ
Artinya:
“Hai manusia, Sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan
seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa - bangsa dan bersuku-suku
supaya kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia
diantara kamu disisi Allah ialah orang yang paling taqwa diantara kamu.
Sesungguhnya Allah Maha mengetahui lagi Maha Mengenal”.
Kurangnya pemahaman dan penerapan secara
praktis firman Allah SWT. dalam QS. al-Hujurat /49: 13 tersebut menyebabkan
orang Islam terjebak dalam hal-hal yang merugikan. Hal tersebut menjadi
penyebab terjadinya konflik yang tidak berkesudahan, Maka konsep pendidikan
multikultural bagi madrasah perlu secara terus-menerus untuk disampaikan kepada
masyarakat melalui berbagai forum atau media. Hal tersebut bertujuan agar
tumbuh dalam diri setiap orang kesadaran hidup dalam sebuah bangsa yang
mempunyai keragaman budaya yang pada akhirnya bisa saling menghargai dan
menghormati setiap perbedaan inilah salah satu yang harus dibangun oleh
Pendidikan Islam dalam bingkai Nusantara.
[1] Adi Sudirman, Sejarah Lengkap Indonesia , Jogjakarta: Diva Press,20`14, h. 207
[2] Sebelumnya kata Indonesia belum dikenal penjajah mengenalnya denga nama Nederlandsch_ Indie, pemerintah jepang menggunakan Istilah To-Indo (hindia Timur) Nama Indonesia baru- benar-benar digunakan setelah Proklamasi 17 Agustus 1945 yang bernama Negara kesatuan Republik Indonesia (NKRI) orang Indonesia yang tercatat pertamakali menggunakan kata Indonesia adalah Suwardi Suryaningrat (Kihajar Dewantara) tahun 1913 karena ia mendirikan sebuah biro press denagn nama indonesische persbureau, Adi Sudirman, Ibid, 12-13
[3] Samsul Nizar, Sejarah Pemdidikan Islam,….. ibid 362
[4] Samsul Nizar, Sejarah Pemdidikan Islam… ibid 363
[5] Muhammad Isnaini, Dosen Fakultas Tarbiyah IAIN Raden Fatah Palembang) Madrasah Sebagai The Centre Of Excellence. Makalah yang tidak diterbitkan, tt.
[6] Deskriptif Statistik RA/BA/TA dan Madrasah tahun 2008
[7] Departemen Agama R.I: Direktorat Jenderal Pendidikan Islam, Ringkasan Statistik Pendidikan Islam 2006-2007
[8] http://id.wikipedia.org/wiki/Suku_bangsa_di_Indonesia ...lebih lanjut dijelaskan. Berbagai Lembaga pernah mempublikasikan tentang jumlah pulau yang dimiliki Indonesia, tetapi sampai dengan saat ini belum ada pernyataan resmi sebagai dokumen negara dan diakui secara internasional tentang penetapan jumlah pulau yang dimiliki oleh Indonesia. (Lih..sekertariat jendral ketahanan nasional. http://www.dkn.go.id/site/index.php/ruang-opini/126-jumlah-pulau-di-indonesia. di lihat tanggal 22 Februari 2015 jam 10:36)
[9] Depag RI (Tiem),Panduan Model Kurikulum Pendidikan Agama Islam Berbasis Multikulutral Sekolah Dasar, Direktorat pendidikan Islam pada Sekolah Direktorat Jenderal Pendidikan Islam Kementerian agama RI, 2010, h.17. lebih lanjut dalam penyusunan kurikulum tinghkat satuan pendidikan ada prinsip yang harus dipenuhi diantaranya Beragam dan terpadu Kurikulum dikembangkan dengan memperhatikan keragaman karakteristik peserta didik, kondisi daerah, jenjang dan jenis pendidikan, serta menghargai dan tidak diskriminatif terhadap perbedaan agama, suku, budaya, adat istiadat, status sosial ekonomi, dan gender. Kurikulum meliputi substansi komponen muatan wajib kurikulum, muatan lokal, dan pengembangan diri secara terpadu, serta disusun dalam keterkaitan dan kesinambungan yang bermakna dan tepat antarsubstansi.
Islam Nusantara juga berpotensi besar untuk memecah-belah kesatuan kaum Muslim, sehingga akan muncul istilah Islam Nusantara, Islam Amerika, Islam Australia, dan sebagainya. Gagasan Islam nusantara disinyalir akan memicu sikap saling menonjolkan kedaerahannya didalam eksistensinya ber-Islam. Seperti cara membaca Qur’an dengan langgam Jawa yang akan memunculkan berbagai egoisme Islam yang bersifat kedaerahan seperti gaya baca Sunda, Batak, Makassar, Aceh, Palembang.
[1] Adi Sudirman, Sejarah Lengkap Indonesia , Jogjakarta: Diva Press,20`14, h. 207
[2] Sebelumnya kata Indonesia belum dikenal penjajah mengenalnya denga nama Nederlandsch_ Indie, pemerintah jepang menggunakan Istilah To-Indo (hindia Timur) Nama Indonesia baru- benar-benar digunakan setelah Proklamasi 17 Agustus 1945 yang bernama Negara kesatuan Republik Indonesia (NKRI) orang Indonesia yang tercatat pertamakali menggunakan kata Indonesia adalah Suwardi Suryaningrat (Kihajar Dewantara) tahun 1913 karena ia mendirikan sebuah biro press denagn nama indonesische persbureau, Adi Sudirman, Ibid, 12-13
[3] Samsul Nizar, Sejarah Pemdidikan Islam,….. ibid 362
[4] Samsul Nizar, Sejarah Pemdidikan Islam… ibid 363
[5] Muhammad Isnaini, Dosen Fakultas Tarbiyah IAIN Raden Fatah Palembang) Madrasah Sebagai The Centre Of Excellence. Makalah yang tidak diterbitkan, tt.
[6] Deskriptif Statistik RA/BA/TA dan Madrasah tahun 2008
[7] Departemen Agama R.I: Direktorat Jenderal Pendidikan Islam, Ringkasan Statistik Pendidikan Islam 2006-2007
[8] http://id.wikipedia.org/wiki/Suku_bangsa_di_Indonesia ...lebih lanjut dijelaskan. Berbagai Lembaga pernah mempublikasikan tentang jumlah pulau yang dimiliki Indonesia, tetapi sampai dengan saat ini belum ada pernyataan resmi sebagai dokumen negara dan diakui secara internasional tentang penetapan jumlah pulau yang dimiliki oleh Indonesia. (Lih..sekertariat jendral ketahanan nasional. http://www.dkn.go.id/site/index.php/ruang-opini/126-jumlah-pulau-di-indonesia. di lihat tanggal 22 Februari 2015 jam 10:36)
[9] Depag RI (Tiem),Panduan Model Kurikulum Pendidikan Agama Islam Berbasis Multikulutral Sekolah Dasar, Direktorat pendidikan Islam pada Sekolah Direktorat Jenderal Pendidikan Islam Kementerian agama RI, 2010, h.17. lebih lanjut dalam penyusunan kurikulum tinghkat satuan pendidikan ada prinsip yang harus dipenuhi diantaranya Beragam dan terpadu Kurikulum dikembangkan dengan memperhatikan keragaman karakteristik peserta didik, kondisi daerah, jenjang dan jenis pendidikan, serta menghargai dan tidak diskriminatif terhadap perbedaan agama, suku, budaya, adat istiadat, status sosial ekonomi, dan gender. Kurikulum meliputi substansi komponen muatan wajib kurikulum, muatan lokal, dan pengembangan diri secara terpadu, serta disusun dalam keterkaitan dan kesinambungan yang bermakna dan tepat antarsubstansi.
MULTIKULTUR DI INDONESIA
Antropoligi Budaya : AKAR SEJARAH MULTIKULTURALISME
AKAR SEJARAH MULTIKULTURALISME
BUDAYA - Setelah kita belajar tentang pengertian dari Multikulturalisme akan lebih baik lagi jika kita mengetahui akar sejarah munculnya Multikulturalisme maka
dari iti dalam kesempatan ini saya akan membahas tentang akar sejarah
munculnya Multikulturalisme yang merupakan salah satu materi pokok dalam
mata kuliah Antropologi Budaya.
Sejarah historis,
sejak jatuhnya presiden Soeharto dari kekuasaannya yang kemudian di
ikuti dengan masa yang di Sebut sebagai “era reformasi”, Kebudayaan
Indonesia cendrung mengalami disintregasi. Krisis sosial budaya yang
meluas itu dapat di saksikan Dalam Berbagai Bentuk disorientasi dan
dislokasi banyak kalangan masyarakat kita yang semakin merebak seiring
dengan meningkatnya penetrasi dan ekspansi budaya barat khususnya
Amerika.
Berbagai ekspresi sosial budaya yang asing dan tidak memiliki basis dan
preseden kurturalnya semakin menyebar dalam masyarakat kita sehingga
memunculkan kecenderungan “gaya hidup” baru yang tidak selalu Sesuai
dengan kehidupan sosial budaya masyarakat dan bangsa.
Dari berbagai kecenderungan ini, orang bisa menyaksikan kemunculan kultur hibryd, budaya gado-gado tanpa identitas, di indonesia dewasa ini. Budaya hidryd dapat mengakibatkan lenyapnya identitas kultur nasional dan lokal, padahal identitas nasional dan lokal tersebut mutlak di perlukan bagi terwujudnya integrasi sosial, kultural dan politik masyarakat indonesia.
Pluralisme
kultural di Asia tenggara khususnya Indonesia, sangatlah mencolok.
Karena itulah dalam teori politik barat sepanjang dasawarsa 1930-an,
wilayah ini di pandang sebagai “locus klasik” bagi konsep “masyarakat
majemuk/ plural” yang di perkenalkan ke dunia barat oleh JS. Furnival.
Menurut
Furnival, masyarakat plural adalah masyarakat yang terdiri dari dua
atau lebih unsur-unsur atau tatanan sosial yang hidup berdampingan,
tetapi tidak bercampur dan menyatu dalam 1 unit politik tunggal.
Pengalaman
Indonesia sejak awal masa kemerdekaan, khususnya pada masa demokrasi
terpimpin dan masa orde baru memperlihatkan kecenderungan kuat pada
penerapan politik monokulturalisme.
Dari
perspektif politik Indonesia, berakhirnya sentralisme kekuasaan pada
masa orde baru memaksakan “mono-kulturalisme”, monokulturalitas,
keseragaman, memunculkan reaksi balik, yang bukan tidak mengandung
sejumplah implikasi negatif bagi rekontruksi kebudayaan Indonesia yang
pada hakekatnya multikultural.
Sebagaimana
di kemukakan di atas, merupakan kenyataan yang sulit di ingkari, bahwa
negara Indonesia terdiri dari sejumlah besar etnis, budaya, agama, dll
sehingga secara sederhana dapat di sebut sebagai masyarakat
multikultural. Menurut analisis Muhaemin el-ma’hady, akar sejarah
multikulturalisme bisa di lacak secara historis, bahwa sedikitnya selama
3 dasawarsa kebijakan yang sentralistis dan pengawalan yang ketat
terhadap isu perbedaan telah menghilangkan kemampuan masyarakat untuk
memikirkan, membicarakan, dan memecahkan persoalan yang muncul karena
adanya perbedaan secara terbuka, rasional dan damai.
Ada
3 kelompok sudut pandang yang biasa berkembang dalam menyikapi
perbedaan identitas kaitannya dengan konflik yang sering muncul.
1. Pandangan kaum primordialis
2. Pandangan kaum instrumentalis
3. Pandangan kaum konstruktif
multikulturalisme adalah sebuah
konsep di mana sebuah komunitas dalam konteks kebangsaan dapat mengakui
keberagaman, perbedaan dan kemajemukan budaya, baik ras suku, etnis,
agama, dll. Sebuah konsep yang memberikan pemahaman bahwa sebuah bangsa
yang plural dan majemuk adalah bangsa yang di penuhi dengan
budaya-budaya yang beragam. Dan bangsa multikultural adalah bangsa yang
kelompok-kelompok etnik atau budaya yang ada dapat hidup berdampingan
secara damai dalam prinsip co existensi yang di tandai oleh kesediaan
untuk menghormati budaya lain.
Parekh,
membedakan 5 macam multikulturalisme meliputi : Multikulturalisme
isolasionis, Multikulturalisma akomodatif, Multikulturalisme otonomis,
Multikulturalisme kritikal, Multikulturalisme kosmopolitan
SEJARAH MULTIKULTURAL
Multikultural adalah istilah yang digunakan untuk menjelaskan pandangan
seseorang tentang ragam kehidupan di dunia, ataupun kebijakan kebudayaan yang
menekankan tentang penerimaan terhadap adanya keragaman, dan berbagai macam
budaya (multikultural) yang ada dalam kehidupan masyarakat menyangkut
nilai-nilai, sistem, budaya, kebiasaan, dan politik yang mereka anut.
Multikulturalisme
mencakup suatu pemahaman, penghargaan serta penilaian atas budaya seseorang,
serta suatu penghormatan dan keingintahuan tentang budaya etnis orang lain
(Lawrence Blum, dikutip Lubis, 2006:174)
Sejarah
multikulturalisme adalah sejarah masyarakat majemuk. Amerika, Kanada, Australia
adalah dari sekian negara yang sangat serius mengembangkan konsep dan
teori-teori mulikulturalisme dan juga pendidikan multikultur. Ini dikarenakan
mereka adalah masyarakat imigran dan tidak bisa menutup peluang bagi imigran
lain untuk masuk dan bergabung di dalamnya. Akan tetapi, negara-negara tersebut
merupakan contoh negara yang berhasil mengembangkan masyarakat multikultur dan
mereka dapat membangun identitas kebangsaannya, dengan atau tanpa menghilangkan
identitas kultur mereka sebelumnya, atau kultur nenek moyangnya.
Dalam
sejarahnya, multikultural diawali dengan teori melting pot yang sering
diwacanakan oleh J Hector seorang imigran asal Normandia. Dalam teorinya Hector
menekankan penyatuan budaya dan melelehkan budaya asal, sehingga seluruh
imigran Amerika hanya memiliki satu budaya baru yakni budaya Amerika, walaupun
diakui bahwa monokultur mereka itu lebih diwarnai oleh kultur White Anglo Saxon
Protestant (WASP) sebagai kultur imigran kulit putih berasal Eropa.
Kemudian,
ketika komposisi etnik Amerika semakin beragam dan budaya mereka semakin majemuk,
maka teori melting pot kemudian dikritik dan muncul teori baru yang populer
dengan nama salad bowl sebagai sebuah teori alternatif dipopulerkan oleh Horace
Kallen. Berbeda dengan melting pot yang melelehkan budaya asal dalam membangun
budaya baru yang dibangun dalam keragaman, teori salad bowl atau teori
gado-gado tidak menghilangkan budaya asal, tapi sebaliknya kultur-kultur lain
di luar WASP diakomodir dengan baik dan masing-masing memberikan kontribusi
untuk membangun budaya Amerika, sebagai sebuah budaya nasional.
Dengan
berbagai teori di atas, bangsa Amerika berupaya memperkuat bangsanya, membangun
kesatuan dan persatuan, mengembangkan kebanggaan sebagai orang Amerika. Namun
pada dekade 1960-an masih ada sebagian masyarakat yang merasa hak-hak sipilnya
belum terpenuhi. Kelompok Amerika hitam, atau imigran Amerika latin atau etnik
minoritas lainnya merasa belum terlindungi hak-hak sipilnya. Atas dasar itulah,
kemudian mereka mengembangkan multikulturalisme, yang menekankan penghargaan
dan penghormatan terhadap hak-hak minoritas, baik dilihat dari segi etnik,
agama, ras atau warna kulit. Multikulturalisme pada akhirnya sebuah konsep
akhir untuk membangun kekuatan sebuah bangsa yang terdiri dari berbagai latar
belakang etnik, agama, ras, budaya dan bahasa, dengan menghargai dan
menghormati hak-hak sipil mereka, termasuk hak-hak kelompok minoritas.
MULTIKULTURAL DI INDONESIA
Masyarakat
multikultural adalah suatu masyarakat yang terdiri dari beberapa macam
kumunitas budaya dengan segala kelebihannya, dengan sedikit perbedaan konsepsi
mengenai dunia, suatu sistem arti, nilai, bentuk organisasi sosial, sejarah,
adat serta kebiasaan (Parekh, 1997 yang dikutip dari Azra, 2007).
Masyarakat
Indonesia merupakan masyarakat dengan tingkat keanekaragaman yang sangat
kompleks. Masyarakat dengan berbagai keanekaragaman tersebut dikenal dengan
istilah mayarakat multikultural.
Multikultural
dapat diartikan sebagai keragaman atau perbedaan terhadap suatu kebudayaan
dengan kebudayaan yang lain. Sehingga masyarakat multikultural dapat diartikan
sebagai sekelompok manusia yang tinggal dan hidup menetap di suatu tempat yang
memiliki kebudayaan dan ciri khas tersendiri yang mampu membedakan antara satu
masyarakat dengan masyarakat yang lain. Setiap masyarakat akan menghasilkan
kebudayaannya masing-masing yang akan menjadi ciri khas bagi masyarakat
tersebut.
Kebudayaan adalah sesuatu yang menempel dalam kehidupan manusia. Kebudayaan
lahir dari interaksi manusia dengan lingkungannya. Oleh karena itu budaya dan
kebudayaan adalah sesuatu yang khas pada setiap komunitas. Kebudayaan bersifat
memenuhi kebutuhan komunitas itu sendiri (self-sufficient). Kebudayaan adalah
cara sebuah masyarakat mengatasi persoalannya sendiri. Suatu masyarakat dengan
berbagai macam budaya membutuhkan suatu pemikiran untuk mempersatukannya untuk
menjadi suatu bangsa yang utuh dan besar. Kegagalan pemilihan proses penyatuan
suatu bangsa menyebabkan kegagalan menjadi bangsa dan rusaknya atau hilangnya
suatu budaya. Pada masa kini masyarakat suatu negara, yang majemuk dari segi
etnis, budaya, agama memiliki gagasan untuk mengembangkan semangat kebangsaan
yang sama. Gagasan itu dirumuskan dalam konsep masyarakat majemuk, dimana suatu
pola hubungan yang mengakui adanya persamaan ras, suku dan antar golongan serta
sudah mengenal pengakuan persamaan hak di bidang politik, perdata, ekonomi dan
lain-lain. Namun telah memberikan makna yang penting di kemajemukan masyarakat
itu. Dalam masyarakat majemuk terdapat berbagai perbedaan sosial, budaya dan
politik yang dikukuhkan sebagai hukum ataupun sebagai konvensi sosial yang
membedakan mereka yang tergolong sebagai dominan yang menjadi lawan dari yang
minoritas. Selanjutnya menjadi sebuah konsep melting pot (tempat melebur) dan
salad bowl (mangkuk salad).
Konsep melting pot adalah melebur berbagai unsur yang berbeda untuk
menjadikan satu bentukan baru. Gambarannya mungkin mirip bumbu pecel. Kacang,
cabe, mungkin juga daun jeruk purut, garam, dan bahan-bahan lain dilebur jadi
satu menjadi bumbu pecel, kemudian terbentuk gumpalan berwarna merah kehitaman
atau kecokelatan. Tidak terlihat lagi bentuk asli kacangnya. Juga sulit
menemukan di mana garamnya, daun jeruk purutnya, atau cabenya. Bentuk asli
seluruh bahan tadi telah dilebur (dengan cara dihancurkan) untuk menyusun
bentukan baru berupa bumbu pecel. Seperti itukah gambaran sebuah bangsa???
Dalam konsep melting pot, jati diri setiap etnis atau suku dihilangkan. Tidak
ada lagi yang namanya suku Sunda, Betawi, Timor, Papua, Dayak. Hanya ada adalah
satu suku besar bernama Indonesia. Masalahnya, bangsa Indonesia terdiri atas
banyak suku yang budayanya sangat beragam. Menurut suatu suku, sebuah tindakan
bisa jadi sebagai hal wajar, namun sudah masuk kategori tidak wajar bagi suku
lain. Penolakan-penolakan seperti itu adalah hal wajar. Ketika sebuah komunitas
dipaksa berperilaku yang berbeda atau bahkan bertentangan dengan budayanya,
kecenderungannya adalah menolak. Itulah yang terjadi ketika harus melebur
bahan-bahan pembuat bumbu pecel. Bisa jadi, ada kacang yang terlalu keras,
sehingga tidak bisa dilebur. Ketika dipaksakan, sang kacang justru meloncat
dari cobek untuk kemudian memisahkan diri menjadi "separatis" keluar
dari bentukan baru bernama bumbu pecel. Apabila konsep melting pot seperti
diterapkan dalam kehidupan berbangsa, bukan tidak mungkin etnis-etnis yang
merasa dipaksa melebur lebih memilih keluar dan menjadi separatis.
Sebaliknya, konsep salad bowl adalah menjadikan negara layaknya mangkuk
salad. Isinya beraneka ragam. Dicampur dalam satu mangkuk tanpa menghilangkan
bentuk asli setiap bahan. Paprika tetap terlihat sebagai paprika. Kubis pun
tetap terlihat sebagai kubis. Kalau ada jagung, tetap terlihat dan terasa
sebagai jagung. Meski begitu, sebagai sebuah sajian, salad tetap enak disantap.
Tinggal pilih dressing-nya. Mau thousand islands, garlic bread, olive oil, atau
vinegar. Gambaran seperti itulah yang mungkin terjadi dalam sebuah bangsa yang
terdiri atas berbagai suku atau etnis yang beragam. Suku Jawa biarkan
berkembang dan berperilaku sesuai budaya Jawanya. Suku Aceh beri keleluasaan
berperilaku dan berbudaya sesuai etnisnya, dan sebagainya. Istilah bangsa
Indonesia hanyalah dressing dari sebuah salad bernama Indonesia. Orang dari
Bali tetap terlihat sebagai orang Bali, yang dari Ambon tetap menunjukkan jati
dirinya sebagai orang Ambon, dan sebagainya. Namun, mereka tetap merasa sebagai
satu kelompok yang lebih besar, sebuah bangsa bernama Indonesia. Persis salad,
masing-masing bahan tetap terlihat bentuk aslinya, namun mereka terangkai dalam
sebuah sajian yang satu bernama salad.
Seiring berjalannya waktu, kedua konsep ini seringkali mengalami
kegagalan dan kelemahan di penerapannya. Melting pot diupayakan untuk
menyatukan seluruh budaya yang ada dengan meleburkan seluruh budaya asal
masing-masing. Konsep Salad bowl, masing-masing budaya asal tidak dihilangkan
melainkan diakomodir dan memberikan kontribusi bagi budaya bangsa, namun
interaksi kultural belum berkembang dengan baik. Maka kemudian dikembangkan
suatu konsep baru yang bernama multikulturalisme. Multikulturalisme
ini yang akan menjadi acuan utama bagi terwujudnya masyarakat multikultural,
karena multikulturalisme sebagai sebuah ideologi akan mengakui dan mengagungkan
perbedaan dalam kesederajatan baik secara individual maupun secara kebudayaan. Dengan
demikian, multikulturalisme diperlukan dalam bentuk tata kehidupan masyarakat
yang damai dan harmonis meskipun terdiri dari beraneka ragam latar belakang
kebudayaan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar